Organisasi

HMJ

Himpunan Mahasiswa Jurusan
     HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) adalah organisasi mahasiswa yang berada di tingkat jurusan. HMJ merupakan badan pelaksana yang mempunyai kekuasaan eksekutif di lingkup jurusan yang dimandatkan oleh BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa) melalui Pemilu tingkat jurusan. HMJ melaksanakan kegiatan di lingkup jurusan. Anggota HMJ adalah seluruh mahasiswa yang terdaftar dan sah di jurusan setelah melalui mekanisme penerimaan mahasiswa baru.
Tugas dan Kewajiban
1. Melaksanakan amanat mahasiswa yang dimandatkan BPM
2. Melaksanakan dan menjunjung tinggi AD/ART
3. Melaksanakan segala ketetapan BPM jurusan
4. Melaksanakan GBHOK di tingkat Jurusan
5. Membuat keputusan-keputusan yang di anggap perlu dalam pelaksanaan GBHOK di tingkat jurusan.
6. Mewakili mahasiswa jurusan baik ke dalam maupun ke luar
7. Wajib mengutamakan aspirasi mahasiswa dalam membuat rancangan   organisasi
8. Melaporkan rencana kerja organisasi kepada BPM Jurusan
9. Berhak memberikan usulan, saran, pendapat, aspirasi kepada pihak jurusan
10. Melaksanakan Rapat Koordinatif dengan pengurus BEM-BPM
11. Membuat laporan pertanggung jawaban terhadap pelaksanaan mandat BPM dan disampaikan dalam sidang pleno
12. Memiliki hak otonomi untuk mengurusi segala kegiatan di tingkat jurusan
HMJ adalah lembaga koordinatif dengan BEM untuk program-program masing-masing dan program-program yang bersifat umum.
Pembentukan HMJ
1. Ketua HMJ dipilih Mahasiswa melalui sistem pemilu Jurusan/Prodi
2. Tata tertib dan cara pemilihan diatur oleh KPR (Komisi Pemilihan Raya)
3. Pengesahan Ketua HMJ dilakukan oleh BEM
4. Mekanisme pembentukkan pengurus dengan formatur tunggal
5. Pengesahan pengurus HMJ dilakukan oleh Ketua HMJ
6. Ketua HMJ tidak diperkenankan merangkap jabatan pengurus harian organisasi intern kampus dan diperkenankan merangkap jabatan pengurus harian ekstern kampus
7. Ketua HMJ bertanggung jawab kepada anggota HMJ melalui BPM jurusan
HMJ Gizi
HMJ Gizi berusaha memenuhi kebutuhan, menampung, menyalurkan, mengarahkan, dan mengembangkan kreatifitas serta kegiatan anggota dengan berasaskan kekeluargaan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Visi HMJ Gizi
“Mengembangkan HMJ sebagai organisasi mahasiswa yang profesional, mandiri, kreatif dan memiliki citra tinggi dalam mewadahi skill civitas akademi dan masyarakat”
Misi HMJ Gizi
1. Meningkatkan manajemen dan administrasi organisasi.
2. Mampu tampil kritis dan kreatif dalam menganalisa masalah internal mahasiswa Jurusan Gizi.
3. Mencitrakan HMJ serta menjalin dan mempererat hubungan jurusan lain
4. Meningkatkan kepedulian dan membantu masyarakat khususnya dalam bidang Gizi.
5. Mengembangkan kegiatan kegizian baik secara ilmiah maupun aplikasinya.
Kepengurusan
Kepengurusan HMJ Gizi terdiri atas Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, Sekretaris, dan Bendahara. HMJ memiliki departemen-departemen, yaitu: Pendidikan, Kesejahteraan Masyarakat, Olahraga/Bina Bakat, Kerohanian (Islam, Hindu, dan Kristen), dan Humas.

PMII

  • PMII adalah bagian dari sejarah Indonesia. Mulai dari awal proses kemunculannya, proses lahirnya, sampai proses perjalanannya hingga sekarang, PMII telah menjadi saksi dari sejarah perjalanan Indonesia. Selain itu, PMII juga sejarah bagi dirinya sendiri. PMII pernah jaya dan pernah pula terpuruk. PMII pernah bersitegang akibat perdebatan tentang politik praksis, dan PMII pernah ditendang dari wilayah strategis. Semua itu bagian dari sejarah yang tak terpisahkan dari perjalanan PMII.

    Dalam proses pemunculannya, PMII tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial politik tahun 1950-an. Ketika itu, telah muncul organisasi-organisasi kepemudaan seperti HMI (ketika itu underbow Masyumi) SEMMI (dengan PSII) KMI (dengan PERTI) dan HIMMA (dengan Wasillah). Banyaknya organisasi tersebut, membuat anak-anak NU ingin mendirikan wadah yang bernaung di bawah panji bola dunia. Akhirnya, pada tahun 1955 didirikanlah IMANU (Ikatan Mahasiswa NU) oleh tokoh-tokoh PP-IPNU. Namun, IMANU tidak berumur panjang. Sebab, PBNU tidak merestui dengan alasan yang sangat logis: “IPNU didirikan baru tanggal 24 Februari 1954 dan dengan pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi”.

    Tetapi sampai pada Kongres IPNU ke-2 (awal 1957 di Pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon), NU masih memandang belum perlu adanya organisasi kemahasiswaan. Baru kemudian pada tahun 1959 IPNU membuat departemen, kemudian dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi (DPT) IPNU.

    Satu tahun kemudian setelah Departemen Perguruan Tinggi IPNU ini dianggap tidak efektif dan tidak cukup menampung aspirasi mahasiswa NU, maka pada Konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960) di Kaliurang menyepakati untuk mendirikan organisasi tersendiri. Rekomendasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh 13 tokoh, yakni; Chalid Mawardi (Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Shabih Ubaid (Jakarta), Makmun Syukri BA. (Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismail Makky (Yogyakarta), Munsif Nachrawi (Yogyakarta), Nurilhuda Suady HA. (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abdul Wahab Djailani (Semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Chalid Marbuko (Malang), dan Ahmad Husein (Makasar). Pada tanggal 14-16 April 1960, mereka menggodok organ baru di TPP Khadijah Surabaya. Akhirnya, tanggal 17 April 1960 lahirlah organisasi mahasiswa NU yang diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

    Dalam perjalanan selanjutnya, PMII merasa tidak strategis dan mengalami keterbatasan langkah di bawah naungan NU yang ketika itu berfusi ke PPP. Maka pada tahun 1972, PMII mendeklarasikan Independensi dari NU dalam ajang Munas di Murnajati. Deklarasi ini terkenal dengan Deklarasi Murnajati. Adapun tim perumus Deklarasi Murnajati adalah; Umar Basalin (Bandung), Madjidi Syah (Bandung), Slamet Efendi Yusuf (Yogyakarta), Man Muhammad Iskandar (Bandung), Choirunnisa’ Yafizhan (Medan), Tatik Farikhah (Surabaya), Rahman Indrus dan Muiz Kabri (Malang).

    Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari dari proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis di mata masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut. Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda Indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggungjawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi Tawangmangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa tanggungjawab.
    Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independen, tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskanPancasila.

    Identitas dan Citra Diri PMII

    APA itu identitas PMII? Seperti empat huruf dalam ‘PMII’, yaitu Suatu wadah/ perkumpulan/ organisasi kemahasiswaan dengan label ‘Pergerakan’ yang Islam dan Indonesia yang mempunyai tujuan: Terbentuknya Pribadi Muslim Indonesia Yang Bertaqwa kepada Allah SWT, Berbudi Luhur, Berilmu, Cakap, Bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia (Bab IV AD PMII). Menuju capaian ideal sebagai mahluk Tuhan, sebagai ummat yang sempurna, yang kamil, yaitu mahluk Ulul Albab.

    Kata ‘Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia’ jika diudar lebih lanjut adalah sebagai berikut :
    1. Pergerakan bisa didefinisikan sebagai ‘lalu-lintas gerak’, gerak dalam pengertian fisika adalah perpindahan suatu titik dari ordinat A ke ordinat B. Jadi ‘Pergerakan’ melampaui ‘gerak’ itu sendiri, karena pergerakan berarti dinamis, gerak yang terus-menerus. Ilustrasinya demikian, Misalnya seorang Alexandro Nesta menendang bola, mengarahkannya kepada Zambrotta, itu berarti suatu gerakan bola dari Nesta ke Zambrotta (hanya itu). Bandingkan, Nesta menendang bola ke Zambrotta, lalu mengoperkan bola itu kepada Vieri, dengan trik cantik Vieri menendang bola persis di pojok atas kanan gawang dan …… Itu yang namanya pergerakan bola. Kesimpulannya, pergerakan meniscayakan dinamisasi, tidak boleh stagnan (berhenti beraktivitas) dan beku, beku dalam pengertian kaku, tidak kreatif-inovatif. Prasyarat kreatif-inovatif adalah kepekaan dan kekritisan, serta kekritisan butuh kecerdasan. Kenapa ‘Pergerakan’ bukan ‘Perhimpunan’?, kalau berhimpun terus kapan bergeraknya….. Artinya bahwa, ‘pergerakan’ bukan hanya menerangkan suatu perkumpulan/organisasi, tetapi juga menerangkan sifat dan karakter organisasi itu sendiri.
    2. Mahasiswa, mahasiswa adalah sebutan orang-orang yang sedang melakukan studi di perguruan tinggi, dengan predikat sebutan yang melekat, mahasiswa sebagai ‘wakil’ rakyat, agen perubahan, komunitas penekan terhadap kebijaakan penguasa dll.
    3. Islam, Agama Islam yang dijadikan basis landasam sekaligus identitas bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang berlandaskan agama. Karenanya jelas bahwa rujukan PMII adalah kitab suci agama Islam ditambah dengan rujukan selanjutnya, sunnah nabi dan para sahabat, yang itu terangkum dalam pemahaman jumhur, yaitu ahlussunnah waljama’ah. Jadi Islam ala PMII adalah Islam yang mendasarkan diri pada aswaja –dengan varian didalamnya– sebagai landasan teologis (keyakinan keberagamaan).
    4. Indonesia. Kenapa founding fathers PMII memasukkan kata ‘Indonesia’ pada organisasi ini? Hal ini tidak lain untuk menunjukkan sekaligus mengidealkan PMII sebagai organisasi kebangsaan, organisasi mahasiswa yang berpandangan nasionalis, punya tanggungjawab kebangsaan, kerakyataan dan kemanusiaan. Juga tidak tepat jika PMII hanya dipahami sebagai organisasi keagamaan semata. Jadi keislaman dan keindonesiaan sebagai landasan PMII adalah seimbang (kalau mencari organisasi mahasiswa yang nasionalis dan agamis maka pilihan itu jatuh pada PMII).

    Jadi PMII adalah pergerakan mahasiswa yang Islam dan yang Indonesia, yang mendasarkan pada agama Islam dan sejarah, cita-cita kemerdekan dan laju perjalanan bangsa ini kedepan. Islam Indonesia (dua kata digabung) juga bisa dimaknai Islam yang bertransformasi ke ranah Nusantara/ Indonesia, Islam Indonesia adalah Islam lokal –bukan Islam Arab secara persis–, tapi nilai universalitas Islam atau prinsip nilai Islam yang ‘bersinkretisme’ dengan budaya nusantara menjadi Islam Indonesia. Ini adalah karakter Islam PMII yang sejalan dengan ajaran Aswaja
GMNI


Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (disingkat GMNI) adalah sebuah organisasi mahasiswa di Indonesia. Organisasi ini adalah sebuah gerakan mahasiswa yang berlandaskan ajaran Marhaenisme.Marhaenisme diambil dari kata marhaen yang berarti orang yang tertindas, marhaenisme adalah orang-orang yang memperjuangkan hak-hak orang yang tertindas, sedangkan marhaenisme sendiri adalah paham tentang marhaen tersebut.GMNI dibentuk pada tanggal 22 Maret 1954 sebagai hasil gabungan dari tiga organisasi mahasiwa, masing-masing Gerakan Mahasiswa Marhenis, Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia.

Sejarah

Organisasi pembentuk

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI, lahir sebagai hasil proses peleburan tiga organisasi mahasiswa yang berasaskan Marhaenisme Ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi itu ialah:

Gerakan Mahasiswa Marhaenis, berpusat di Jogjakarta

Gerakan Mahasiswa Merdeka, berpusat di Surabaya

Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, berpusat di Jakarta.

Proses peleburan

Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.

Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seasas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positif.

Deklarasi

Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain:

Setuju untuk melakukan fusi

Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi bernama "Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia" (GMNI).

Asas organisasi adalah: Marhaenisme ajaran Bung Karno.

Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan setelah pertemuan ini.

Para deklarator

Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain:

Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka:

1. Slamet Djajawidjaja2. Slamet Rahardjo3. Heruman

Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis:

1. Wahyu Widodo2. Subagio Masrukin3. Sri Sumantri martosuwiignyo

Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia:

1. S.M. Hadiprabowo2. Djawadi Hadipradoko3. Sulomo

Kongres I

Dengan direstui Presiden Ir. Soekarno, pada tanggal 23 Maret 1954, dilangsungkan Kongres I GMNI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi GMNI (Dies Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan antar tiga pimpinan organisasi yang berfusi, juga untuk menetapkan personel pimpinan di tingkat pusat.

Kongres II

Sehubungan dengan banyak persoalan yang sebenarnya belum terselesaikan dalam forum Kongres I, maka dua tahun kemudian (1956), GMNI kembali menyelenggarakan Kongres II GMNI di Bandung, dengan pokok persoalan di seputar masalah konsolidasi internal organisasi. Sebagai hasil realisasi keputusan Kongres II ini, maka Organisasi cabang GMNI mulai tertata di beberapa kota.

Kongres III

Akibat dari perkembangan yang kian meningkat di sejumlah basis organisasi, tiga tahun setelah Kongres II, GMNI kembali menyelenggarakan Kongres III GMNI di Malang tahun 1959, yang dihadiri sejumlah Utusan cabang yang dipilih melalui Konperensi Cabang masing-masing. Berawal dari Kongres III ini, GMNI mulai meningkatkan kiprahnya, baik dalam lingkup dunia perguruan tinggi, maupun di tengah-tengah masyarakat.

Dalam kaitan dengan hasil Kongres III ini, masih pada tahun yang sama (1959) GMNI menyelenggarakan Konperensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, dan Presiden Ir. Soekarno telah berkenan ikut memberikan Pidato Sambutan yang kemudian dikenal dengan judul "Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa!".

Kongres IV

Digelar tahun 1962 di Jogjakarta, dengan hasilnya: Peneguhan eksistensi organisasi dalam realitas sosial politik dan masalah kemasyarakatan. Kepengurusan Presidium antara lain: Bambang Kusnohadi (ketua), Karjono (sekjen), John Lumingkewas, Waluyo, dll.

Kongres V

Untuk lebih memantapkan dinamika kehidupan pergerakan GMNI, maka direncanakan pada tahun 1965 akan diselenggarakan Kongres V GMNI di Jakarta. Namun Kongres V tersebut gagal terlaksana karena gejolak politik nasional yang tidak menentu akibat peristiwa G30S/PKI. Kendati demikian, acara persiapannya sudah sempat direalisiir yakni Konperensi besar GMNI di Pontianak pada tahun 1965. Dalam Konferensi besar ini telah dihasilkan kerangka Program Perjuangan, serta Program Aksi bagi Pengabdian Masyarakat.

Dampak peristiwa G30S/PKI bagi GMNI sangat terasa sekali, sebab setelah peristiwa tersebut, GMNI dihadapkan pada cobaan yang cukup berat. Perpecahan dalam kubu Front Marhaenis ikut melanda GMNI, sehingga secara nasional GMNI jadi lumpuh sama sekali. Di tengah hantaman gelombang percaturan politik nasional yang menghempas keras, GMNI mencoba untuk bangkit kembali melakukan konsolidasi. Terlaksana Kongres V GMNI di Salatiga tahun 1969 (yang seharusnya di Jakarta tetapi gagal dilaksanakan). Namun Kongres V ini tetap belum bisa menolong stagnasi organisasi yang begitu parah.

Namun demikian kondisi ini tampaknya telah membangkitkan kesadaran kesadaran baru dikalangan warga GMNI, yakni kesadaran untuk tetap bergerak pada kekuatan diri sendiri, maka mulai 1969, thema "Independensi GMNI" kembali menguasai lam pikiran para aktivis khususnya yang berada di Jakarta dan Jogjakarta. Tuntutan Independensi ini mendapat reaksi keras, baik dari kalangan Pimpinan Pusat GMNI maupun dari PNI/Front Marhaenis. Tuntutan independensi ini sebenarnya merupakan upaya GMNI untuk kembali ke "Khittah" dan "Fitrah" nya yang sejati. Sebab sejak awal GMNI sudah independen. Tuntutan ini sesungguhnya sangat beralasan dan merupakan langkah antisipasi, sebab tidak lama kemudian terjadi restrukturisasi yang menyebabkan PNI/FM berfusi kedalam PDI.

Kongres VI

Setelah gejolak politik reda GMNI kembali memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun kembali organisasinya. Dilaksanakan Kongres VI GMNI di Ragunan-Jakarta tahun 1976, dengan thema pokok: "Pengukuhan Independensi GMNI serta Konsolidasi Organisasi". Hal lain yang patut dicatat dalam Kongres VI ini adalah penegasan kembali tentang Asas Marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga apapun juga, serta perubahan model kepemimpinan kearah kepemimpinan kolektif dalam bentuk lembaga Presidium.

Selain itu, Kongres VI mempunyai arti tersendiri bagi GMNI, sebab mulai saat itu telah terjadi regenerasi dalam keanggotaan GMNI, yang ditandai dengan munculnya sejumlah pimpinan basis dan cabang dari kalangan mahasiswa muda yang tidak terkait sama sekali dengan konflik internal PNI/FM di masa lalu.

Kongres VII

Mengingat persoalan konsolidasi meliputi berbagai aspek, maka masalah yang sama dibahas pula dalam Kongres VII GMNI di Medan tahun 1979. dalam Kongres VII ini kembali ditegaskan bahwa: Asas organisasi tidak boleh diubah, Independensi tetap ditegakkan, dan konsolidasi organisasi harus seimbang dengan konsolidasi ideologi.